Konflik Pulau Rempang Batam , Tokoh Adat Angkat Bicara

Advertisements

Negesindonesia.com – Dalam peristiwa relokasi yang memicu ketegangan di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, suasana semakin memanas dengan munculnya para tokoh adat Melayu yang menuntut hak mereka.

Raden Iskandar Mahmud Badaruddin, yang merupakan Sultan Kesultanan Palembang Darussalam, dengan tegas menyatakan bahwa sistem kesultanan, kerajaan, dan masyarakat di wilayah mereka telah ada sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan penuh keyakinan, dia menegaskan,

“Kami ada sebelum kamu ada. Kamu ada karena kami mengakui kamu ada.”

Baca Juga :  SuaraPemerintah.id dan TRAS N CO Gelar Penghargaan TOP Digital Public Relations Award Khusus BUMN dan BUMD

Pernyataan ini bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi simbol perlawanan terhadap klaim Menkopolhukam Mahfud MD yang, atas nama negara, memberikan hak atas lahan di Pulau Rempang kepada sebuah perusahaan asing untuk diolah. Mahfud MD bahkan menyebutkan bahwa lahan tersebut dalam kondisi terlantar.

Perusahaan yang dimaksud adalah Xinyi Group, perusahaan asal Cina yang berkolaborasi dengan perusahaan milik Tomy Winata, Artha Graha Network (AG Network), yang merupakan perusahaan induk PT Makmur Elok Graha (MEG).

Baca Juga :  MK Gelar Sidang Putusan Sidang Gugatan UU Cipta Kerja

Kisah penduduk Pulau Rempang terungkap dalam buku “Tuhfat An-Nafis” karya Raja Ali Haji yang pertama kali terbit pada tahun 1890.

Buku ini mengungkap bahwa penduduk Pulau Rempang, Galang, dan Bulang adalah keturunan dari prajurit Laskar Kesultanan Riau Lingga. Mereka telah mendiami pulau-pulau tersebut sejak tahun 1720 Masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.

Dengan lebih dari 300 tahun eksistensi mereka di Pulau Rempang, Galang, dan Bulang, penduduk Melayu di sana telah menjaga dan melestarikan warisan budaya mereka. Meskipun jumlah penduduk saat ini hanya sekitar 5.000 jiwa di Pulau Rempang (tidak termasuk Galang dan Bulang), mereka tetap teguh dalam menjaga kultur mereka yang kaya.

Baca Juga :  Publik Diminta Tidak Putus Asa dalam Mencari Figur Pemimpin yang Ideal di Pemilu 2024

Ketegangan ini menggambarkan konflik antara hak historis masyarakat adat dan tuntutan pembangunan modern, menciptakan narasi yang kompleks dan membingungkan dalam perjuangan untuk tanah dan identitas mereka di Pulau Rempang.

Tinggalkan Balasan